Asosiasi Ahli Nutrisi Indonesia (Aini) menggelar webinar bertajuk ‘Pengelolaan dan Optimalisasi Pemakaian Lamtoro pada Sapi’ melalui aplikasi Zoom pada Kamis (6/8).
Ketua Aini, Nahrowi memandang seminar ini perlu diadakan karena potensi tumbuhan dengan nama latin Leucena leucocephala ini sangat baik di Indonesia. “Lamtoro memang sangat potensial sebagai sumber protein untuk ternak ruminansia besar (sapi). Kalau pakan konsentrat, memang masih terbatas pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa saja,” jelas dia.
Peternak tanah air tentunya membutuhkan sumber protein lain dari hijauan. Selain lamtoro, para peneliti di Aini sedang mengembangkan tanaman indigofera. Nahrowi sangat optimis, jika kedua hijauan tersebut dikembangkan, maka dunia peternakan Indonesia akan lebih maju lagi.
Pakan sebagai komponen penting dalam memaksimalkan potensi genetik pertumbuhan ternak, harus selalu tersedia. Selain itu, peternak juga harus memberikan pakan yang efektif dan efisien untuk mengoptimalkan pertumbuhan. “Lanjutnya, pakan juga harus murah dan tersedia sepanjang tahun. Kalau persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka biaya produksi dapat ditekan,” ujar Tanda Sahat Panjaitan, Peneliti Madya di BPTP Balitbangtan NTB.
Setelah ditilik lebih jeli, lamtoro rupanya berhasil memenuhi seluruh kriteria tersebut. Sebagai tumbuhan yang berkualitas nutrisi tinggi, lamtoro toleran terhadap kering dan berumur panjang. Jika diproduksi secara massal, memungkinkan adanya pengurangan biaya produksi yang signifikan.
Tanda menambahkan, jika penggunaan lamtoro sebagai pakan sapi sudah dimulai sejak 2010. Hingga saat ini, sebanyak 2.500 peternak di Sumbawa yang sudah memberikan lamtoro untuk sapinya. Lamtoro cepat diadopsi di NTT dan NTB karena memang bisa menjawab kebutuhan peternak dalam hal kesesuaian dengan lahan, sistem, dan budaya.
“Dukungan dari pemerintah lokal juga sangat terasa dalam pengembangan lamtoro,” tambah Tanda singkat. Sehingga, kualitas pemahaman peternak meningkat dan melihat lamtoro sebagai salah satu potensi yang mumpuni.
Melengkapi penjelasan Tanda, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Dahlanudiin mengatakan jika pada 2010 lalu ternyata 100 % peternak di Sumbawa sudah menggunakan lamtoro untuk penggemukan sapi. Namun, lamtoro terkenal memiliki kandungan mimosin yang sangat tinggi, yakni 6 %. Hal inilah yang mengakibatkan ternak belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan lamtoro.
“Dari studi yang kami lakukan, tentunya dipahami bahwa mimosin dalam rumen akan dicerna oleh mikroba rumen. Ada 1 bakteri yang sangat ampuh mencerna mimosin ini, sehingga tidak sanggup bereaksi. Bakteri tersebut adalah Synergistes jonesii, yang kemudian preparatnya diinokulasi untuk menekan mimosin pada lamtoro,” jelas pria yang akrab disapa Dahlan ini.
Terbukti, sapi Bali di NTB yang diberikan 100 % lamtoro mampu tumbuh 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan sapi lain yang tidak diberikan lamtoro, dengan pertambahan bobot badannya sekitar 0,54 kg per hari.
Nyatanya, pemberian lamtoro secara intensif merupakan tindak pemborosan protein. Maka dari itu, Dahlan memberikan masukan untuk mencampur lamtoro dengan sumber energi seperti rumput muda, dedak, ubi kayu atau biji jagung. Ransum yang diberikan harus komplet agar mampu meningkatkan pertumbuhan sapi dan tentunya menguntungkan.
Tak disangka, karkas sapi Bali yang diberikan lamtoro dapat meningkat hingga level 52,4 %. Jika sapi Bali yang dipelihara secara tradisional hanya mampu menghasilkan karkas 47,9 %, pemberian lamtoro nyata memberikan efek positif bagi sektor hulu (dalam hal ini karkas).
Selain digunakan sebagai pakan ternak, lamtoro dapat juga dimanfaatkan untuk bahan dasar pembuatan bubur kertas atau paper pulp di India. Tercatat, lahan lamtoro di sana mencapai 100.000 hektar. Fakta tersebut diungkap oleh Max Sheltor, seorang Pengajar dan Peneliti Queensland University, Australia. “Kemudian, pemanfaatan lamtoro di Thailand lebih bervariasi lagi. Mereka menggunakannya untuk biomassa guna menyediakan tenaga listrik,” kata Max.
Dirinya juga sangat senang dan mengapresiasi penggunaan lamtoro jenis Tarramba untuk penggemukan sapi di Indoensia. Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah cerita sukses peternak yang tercipta karena para peneliti mampu mengakomodir apa yang peternak inginkan, dan didukung pula oleh keterlibatan pemerintah pusat dan provinsi yang sangat maksimal. (Sumber: Trobos)