Black Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam (Hermetia illucens), adalah lalat yang berasal dari Amerika Selatan yang saat ini sudah kosmopolitas. Larva dari lalat yang dikenal dengan istilah maggot (belatung), tersebut bertahan hidup dengan memakan sampah organik -dengan telur lalat yang memerlukan sekitar 4 hari untuk menetas, dan biasanya diletakkan oleh induknya pada celah-celah atau pada permukaan di atas pakan. Dengan ukuran larva berkisar dari 3-19 mm, larva BSF biasanya migrasi pada saat akan membentuk prepupa/pupa.
Hal itu disampaikan oleh Desianto Budi Utomo selaku Ketua Umum GPMT dalam Seminar Online AINI 4 dengan tema Budidaya Maggot dan Aplikasinya dalam Industri Pakan Ikan dan Unggas, melalui aplikasi daring, Kamis (9/7). Narasumber lain dalam acara itu yakni Aminudi (CEO Biomagg), Prof Dr Dewi A Astuti (Guru Besar Fapet IPB), Prof Dr Sumiati (Dekan Fapet IPB), dan Dr Ichsan Achmad Fauizi (Dosen FPIK IPB). Seminar yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam tersebut dipandu oleh Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Palu Prof. Ir. Burhanudin Sundu, M.Sc.Ag., Ph.D.
Budidaya maggot untuk menghasilkan sumber protein sudah banyak dikembangkan di luar negeri seperti di Belanda, Jerman, dan Cina. Biokonversi tersebut di Indonesia diharapkan dapat bersinergi dengan masalah lingkungan melalui pengelolaan limbah organik menjadi bahan pakan alternatif pengganti tepung ikan dan MBM yang lebih murah dan berkelanjutan.
Desianto menandaskan, BSF merupakan lalat yang dapat dikatagorikan sebagai dekomposer, karena maggot atau belatung BSF dapat memakan bahan organik hidup atau mati. “Dari segi lingkungan serangga ini memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem,” kata Desianto. Ia menambahkan, telah banyak penelitian mengenai periode hidup BSF, yang bergantung pada pakan larva, periode hidup larva, prepupa, pupa, dewasa hingga masa inkubasi telur dapat berbeda-beda. Faktor abiotik juga akan berpengaruh pada periode hidup BSF.
Sebuah penelitian menunjukkan, subtitusi BSF atas tepung ikan pada formula pakan ikan lele, maksimal penggunaan bisa mencapai 20%, yang menyumbang 8,9% dari total protein pada formula. Tentang apakah BSF ini menguntungkan untuk digunakan, Desianto menjelaskan, hal itu sangat tergantung pada harga BSF dibandingkan dengan tepung ikan dan bahan baku lain, serta kualitas BSF yang digunakan.
Tantangan lain adalah dalam hal jumlah ketersediaan dan kontinuitasnya. “Tantangan ketersediaan dan penggunaan bahan baku lokal secara umum adalah dalam hal kualitas yang tidak stabil, produksi yang masih skala kecil, harga yang relatif mahal sehingga kurang kompetitif, serta keberlanjutan ketersediaan atau kontinuitas suplainya,” kata Desianto Budi Utomo. Sumber: Majalah Poultry Indonesia